BdBK-11


BUNGA DI BATU KARANG

JILID 11

kembali | lanjut

BdBK-11PETANI dari Sukawati itu pun kemudian duduk di atas batu nisan sambil memandang berkeliling. Kuburan itu benar-benar telah sepi. Namun untuk beberapa lamanya ia tidak mening-galkan batu nisan itu.

Sambil memandang daun semboja yang bergetar disentuh angin Petani dari Sukawati itu berkata kepada diri sendiri, “Tetapi sudah ada semacam kesadaran pada rakyat kecil. Mudah-mudahan mereka masih memiliki keberanian. Kegagalan yang pernah terjadi mudah-mudahan tidak membunuh keberanian mereka sama sekali”

Petani itu pun kemudian berdiri sambil mengusap keningnya. Matahari sudah menjadi semakin rendah, dan sebentar kemudian hilang di balik cakrawala. Dan malam yang kelam pun mulai menyelubungi Surakarta. Tetapi petani dari Sukawati itu masih berada dikuburan.

Ternyata ketika malam menjadi semakin kelam, sesosok bayangan yang lain bergerak-gerak di balik dinding batu yang mengelilingi makam itu. Sejenak kemudian terdengar bunyi burung kedasih yang ngelangut. Namun ternyata dari dalam kuburan itu terdengar suara burung yang sama seakan-akan menyahut suara burung yang pertama.

Beberapa saat kemudian, maka sesosok bayangan yang memanggul sesuatu di pundaknya meloncat masuk dan mengendap di antara batu-batu nisan yang besar dan cungkup-cungkup yang gelap.

“Bawa kemari” terdengar suara berat.

“Hamba Pangeran” jawab orang yang memanggul sesuatu di pundaknya itu.

“Sekarang adalah giliran kita untuk menguburnya” berkata suara yang pertama.

“Hamba Pangeran”

“Cepat, galilah tanah yang masih basah di samping kuburan Rudira” suara itu berhenti sejenak, lalu, “Apakah kau seorang diri?”

“Hamba Pangeran. Hamba datang seorang diri”

“Baiklah. Marilah aku bantu”

Di dalam keremangan malam, maka dua sosok bayangan itu pun sibuk menggali lubang di samping kuburan Rudira yang masih basah, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan jika seseorang besok datang ke kuburan itu.

Ketika lubang itu sudah cukup dalam, maka mereka pun segera memasukkan benda yang memanjang dan terbungkus tebal yang dipanggul di atas pundak orang yang meloncati pagar itu.

“Ada berapa?”

“Lima Pangeran. Dan menurut pembicaraan yang sudah kami lakukan, mereka akan mengambilnya dua hari lagi”

“Bagus, dan berhati-hatilah. Senjata-senjata api semacam itu sangat kami perlukan. Untuk melawan kumpeni, ada baiknya kita juga memiliki senjata api meskipun tidak banyak”

Demikianlah, maka senjata api itu pun kemudian ditimbuni-nya dengan baik, sehingga tidak meninggalkan bekas.

“Marilah kita pergi. Mudah-mudahan kita akan mendapatkan senjata semacam itu yang lain”

“Hamba Pangeran. Tetapi mudah-mudahan juga tidak ada orang yang berprasangka bahwa kitalah yang telah menembak Raden Rudira”

“Tentu tidak. Tidak ada orang yang tahu bahwa kita memiliki senjata api. Dan orang-orang sudah yakin bahwa sebenarnya yang menembak Rudira adalah kumpeni”

“Mudah-mudahan pula kematian Raden Rudira dapat membangkitkan harga diri rakyat Surakarta dan para bangsawan”

“Tetapi sebagian dari para bangsawan telah benar-benar kehilangan harga diri dan keberanian”

Tidak terdengar jawaban. Sejenak kemudian mereka berdua masih saja merenungi senjata-senjata api yang tertimbun di lubang itu.

“Sudahlah, marilah segera kita hilangkan bekas-bekas kita, dan kita segera dapat meninggalkan tempat ini”

Keduanya pun kemudian menyamarkan timbunan senjata api itu sebaik-baiknya sehingga mereka yakin bahwa tidak ada seorang pun yang akan dapat mengetahuinya.

Dengan hati-hati keduanya pun meninggalkan kuburan itu. Ternyata mereka memerlukan waktu yang cukup lama untuk menggali dan menimbuni kuburan senjata itu, sehingga malam sudah menjadi semakin jauh.

Dalam pada itu, selagi mereka merayap keluar dari kuburan itu. Di istana Pangeran Sindurata telah terjadi sesuatu yang menggemparkan. Ketika perlahan-lahan Raden Ayu Galihwarit mulai sadar, maka Pangeran Sindurata menjadi gembira. Tetapi untuk sadar sama sekali. Raden Ayu Galihwarit memerlukan waktu hampir setengah hari.

Namun berbeda dengan dugaan Pangeran Ranakusuma, bahwa ternyata Raden Ayu Galihwarit benar-benar menjadi agak baik. Ia mulai mengenal dirinya sendiri dan orang-orang yang berada di sekitarnya.

“Galihwarit” Panggil ayahandanya yang sudah kembali dari Ranakusuman.

“Ayahanda” desis Galihwarit.

“Ya Galihwarit. Aku adalah ayahandamu. Apakah kau sudah menjadi semakin baik?”

Raden Ayu Galihwarit memandang ayahandanya yang tampak masih agak kabur. Kemudian keluarganya yang lain. Keluarga yang tinggal di rumah orang tuanya. Bukan di rumahnya sendiri.

“Beristirahatlah saja dahulu Galihwarit. Jangan pikirkan apapun juga”

Galihwarit tidak menjawab. Kepalanya terasa pening sekali dan perutnya menjadi mual. Bayangan yang kabur itu pun kadang-kadang bagaikan menghilang lagi. Wajah-wajah yang tampak tidak seperti sewajarnya. Kepala yang terlalu besar dan mata yang hitam kelam. Namun kadang-kadang bayangan yang aneh itu dapat dikenalnya seorang demi seorang, sebelum menjadi kabur dan seolah-olah berubah bentuknya.

Ketika Raden Ayu Galihwarit akan muntah, maka ayahandanya yang cemas berkata, “Pejamkan saja matamu. Mungkin kau menjadi pening dan rasa-rasanya ruangan ini sedang berputar”

“Ya ayahanda”

“Nah, cobalah tidur. Jangan hiraukan apa-apa lagi”

Raden Ayu Galihwarit mencoba memejamkan matanya yang kabur. Namun sekali-sekali ingin juga ia melihat orang-orang yang ada disekitarnya. Tetapi pandangannya masih saja terasa terganggu. Kadang-kadang ia tidak dapat melihat apapun lagi, selain keputih-putihan. Seakan-akan ia berada di dalam gumpalan awan yang pekat.

“Tidurlah” terdengar suara ayahandanya.

Raden Ayu Galihwarit tidak menyahut. Tetapi ia memejamkan matanya.

Namun dalam pada itu, ketika Raden Ayu Galihwarit mencoba mengingat apa yang telah terjadi dengan dirinya, mulailah angan-angannya menelusuri masa-masa yang telah terjadi.

Raden Ayu itu dapat teringat meskipun samar-samar, mulai saat ia pergi meninggalkan istananya untuk memenuhi undangan beberapa orang perwira kumpeni. Diingatnya pula betapa meriahnya perjamuan itu, karena seorang perwira asing yang lucu dan senang bergurau. Dengan bahasa Jawa yang patah-patah ia mencoba berbicara terlalu banyak, sehingga suasananya menjadi sangat ramai. Raden Ayu itu pun berhasil mengingat saat-saat ia meninggalkan istana yang mulai menjadi sepi, dan diingatnya pula saat-saat ia berpindah kereta di pinggir jalan.

Tiba-tiba dada Raden Ayu Galihwarit berdesir. Seakan-akan terbayang meskipun masih agak kabur seperti wajah-wajah yang mengelilinginya, gambaran berikutnya dari peristiwa yang dialaminya. Seakan-akan ia mendengar derap kaki kuda menyusul keretanya dan kemudian disusul suara tembakan dan sesosok tubuh terbanting jatuh.

Disela-sela derai suara tertawa yang suram bagaikan suara hantu yang menemukan sesosok mayat terkapar di tengah jalan, ia seakan-akan mendengar seorang kumpeni mengumpat. Dan ketika Raden Ayu Galihwarit bagaikan memaksa diri untuk mengingat apa yang selanjutnya terjadi, terasa sesuatu bagaikan menghentakkan dadanya. Tiba-tiba saja sebuah jerit yang panjang telah terloncat dari mulutnya. Ternyata kenangannya telah mulai menyentuh bayangan sesosok tubuh yang terkapar di pembaringan oleh luka peluru. Dan tubuh itu adalah tubuh anaknya sendiri. Raden Rudira.

“Galihwarit” desis Pangeran Sindurata yang menjadi bingung, “Kenapa? Kenapa?”

Yang terdengar kemudian adalah tangis yang meledak. Di dalam bayangan yang gelap, Raden Ayu Galihwarit melihat dirinya sendiri dicengkam oleh iblis yang paling laknat. Karena itu, disela-sela tangisnya terdengar ia meratap, “Bukan maksudku. Bukan maksudku untuk menjerumuskan kau ke dalam bencana itu Rudira. Bukan aku. Bukan aku yang membunuhmu”

“Galihwarit, Galihwarit” Pangeran Sindurata menjadi bingung, sedang orang-orang lain pun seakan dicengkam oleh kecemasan yang luar biasa.

Tetapi kejutan yang telah mengguncang perasaan Galihwarit itu mulai mengganggu syarafnya lagi. Karena itulah, maka bayangan yang semula samar-samar dan semakin lama menjadi semakin jelas itu pun telah menjadi kabur kembali. Dan bahkan hilang sama sekali. Yang kemudian mencengkamnya adalah kegelapan dan ketidak sadaran. Itulah sebabnya, maka kata-kata yang terloncat dari bibirnya pun sama sekali tidak terkendali lagi.

Pengakuan-pengakuan yang kemudian mulai mengalir telah benar-benar mengganggu perasaan Pangeran Sindurata. Karena itulah maka tiba-tiba ia pun berteriak keras-keras kepada orang-orang yang ada di dalam bilik itu, “Pergi, semua pergi. Tinggalkan bilik ini. Biarlah aku sendiri yang menungguinya”

Sejenak orang-orang yang ada di dalam bilik itu termangu-mangu. Namun karena itu, maka sekali lagi Pangeran Sindurata berteriak, “Pergi, cepat. Pergi”

Orang-orang yang ada di dalam bilik itu mulai bergeser. Seorang demi seorang mereka keluar dari dalam bilik itu. Para emban dan juga keluarganya. Saudara-saudaranya dan bahkan orang-orang tua.

Tetapi Raden Ayu Galihwarit tidak menyadari apa yang terjadi di sekitarnya. Sambil menangis ia meratapi peristiwa yang baru saja terjadi, dan yang mengakibatkan kematian Raden Rudira.

Meskipun tidak jelas dan tidak berurutan, namun ternyata bahwa Pangeran Sindurata berhasil menangkap igauan yang terlontar dari mulut Raden Ayu Galihwarit.

Rasa-rasanya setiap kata yang didengarnya telah menghantam dadanya. Ia sadar, bahwa ternyata selama ini puterinya yang telah berhasil menyingkirkan orang-orang yang tidak disenanginya dari istana Ranakusuman itu telah terperosok ke dalam lumpur yang kotor.

“Memalukan sekali, memalukan sekali” geram Pangeran Sindurata.

Ketika kemudian dipandanginya wajah anaknya itu, terbayang betapa ia telah melakukan perbuatan yang terkutuk untuk mencapai cita-citanya.

“Anak setan” tiba-tiba ia menggeram. Lalu, “Siapakah yang mengajarimu berbuat demikian?”

Tetapi Raden Ayu Galihwarit tidak mengerti pertanyaan itu. Dengan kedua tangannya ia mengusap air matanya. Dan tiba-tiba saja gangguan pada syarafnya menjadi semakin parah. Karena itulah maka tangisnya tidak lagi terdengar. Bahkan di luar dugaan Pangeran Sindurata Raden Ayu Galihwarit mulai tersenyum.

“Gila, gila. O, kau sudah menjadi Gila” Pangeran Sindurata berteriak.

Terdengar Raden Ayu Galihwarit tertawa. Dan suara tertawanya telah mengguncang hati Pangeran Sindurata. Pangeran yang mudah sekali hanyut dalam arus perasaannya itu.

Tingkah lakunya, suara tertawanya dan kata-katanya itu benar-benar membuat Pangeran Sindurata bagaikan dihempaskan ke dalam suatu lingkaran yang menghisapnya ke dalam dunia yang kelam dan memalukan.

Karena itu, ketika Raden Ayu Galihwarit sekali lagi menyebut nama kumpeni di dalam hubungan yang lain dengan dirinya, maka darahnya bagaikan telah mendidih. Tiba-tiba saja ia meloncat menerkam pundak puterinya. Sambil mengguncang-guncangnya ia berkata, “Galihwarit. Jadi kau benar-benar telah menjadi gila? Bukan saja gila dalam arti yang sewajarnya, seperti yang terjadi atasmu sekarang, tetapi kau telah sejak lama menjadi gila dengan tingkah lakumu yang terkutuk itu”

Raden Ayu Galihwarit menyeringai karena terasa pundaknya menjadi sakit. Tetapi kemudian ia tersenyum sambil berkata, “Jangan sakiti aku. Kau tidak usah memaksaku. Jika kau dapat menyediakan mutiara yang berwarna kelabu itu, kau tidak akan kecewa”

“O, o” Pangeran Sindurata menjadi lemas. Terhuyung-huyung ia melangkah menjauhi puterinya dan terduduk di atas pembaringan.

“He, mana mutiara itu? Mana?”

“Tidak. Tidak” Pangeran Sindurata justru menjadi bingung.

Raden Ayu Galihwarit tertawa. Perlahan-lahan ia mendekati-nya. Wajahnya yang pucat itu benar-benar membayangkan wajah seorang iblis betina yang cantik tetapi berbisa.

Pangeran Sindurata menjadi semakin bingung. Setiap langkah puterinya. rasa-rasanya dadanya menjadi semakin pepat. Namun Raden Ayu Galihwarit masih saja melangkah maju.

“Jangan, jangan” Pangeran Sindurata itu pun hampir berteriak. Tetapi Raden Ayu Galihwarit justru tertawa tertahan-tahan.

Tiba-tiba sesuatu bergejolak di dalam hatinya. Getaran yang tidak dapat dimengertinya, namun yang kadang-kadang memang terasa hinggap di hatinya itu.

Getaran itulah yang kadang-kadang membuatnya kehi-langan pengamatan diri. sehingga beberapa orang menyebutnya agak kurang menguasai kesadarannya.

Demikianlah ketika Raden Ayu Galihwarit tinggal lagi selangkah daripadanya, dan sambil tertawa memandangi-nya, Pangeran Sindurata tidak dapat lagi menguasai getaran di dalam dadanya itu. Wajahnya yang tegang menjadi semakin tegang, dan matanya menjadi liar.

Tanpa diduga-duga maka ia pun sekali lagi meloncat menerkam Raden Ayu Galihwarit. Kali ini tidak di pundaknya, tetapi tepat mencengkam leher.

“O” Raden Ayu Galihwarit masih sempat berdesah. Namun suaranya hilang karena tenggorokannya tiba-tiba saja tersumbat.

“Iblis betina” geram Pangeran Sindurata, “Kau telah melumuri namaku dengan noda yang tidak terhapuskan. Kau memang harus mati. Kau telah dengan tidak langsung membunuh anakmu sendiri dan melumuri namaku dengan kehinaan. Kau memang harus mati. Kau harus mati”

Dan tangan Pangeran Sindurata mencengkam semakin keras, sehingga Raden Ayu Galihwarit yang sedang terganggu syarafnya itu sama sekali tidak dapat mengeluh lagi.

Namun dalam pada itu, selagi tangan Pangeran Sindurata yang sedang bingung itu semakin erat mencengkam leher puterinya, tiba-tiba saja pintu bilik itu terdorong dengan kerasnya. Seseorang meloncat masuk dan dengan suara bergetar berkata sambil menarik tangan Pangeran Sindurata, “Kangmas Pangeran, jangan. Jangan dilakukan”

Pangeran Sindurata yang masih mencengkam leher puterinya berpaling. Dilihatnya adiknya dengan wajah yang cemas mencoba menahannya.

“Jangan kau cegah aku adimas. Jangan”

“Ingatlah kangmas. Yang kangmas lakukan itu sama sekali bukan suatu penyelesaian. Tetapi kangmas justru sedang membuka persoalan baru lagi”

Pangeran Sindurata berpikir sejenak. Namun dalam pada itu angannya menjadi semakin mengendor.

“Lepaskan kangmas, lepaskan”

Seperti didorong oleh tenaga gaib maka tangan Pangeran Sindurata pun terlepas dari leher Raden Ayu Galihwarit. Namun dalam pada itu, tubuh puterinya itu pun sudah menjadi demikian lemahnya. Untunglah bahwa Pangeran Sindumurti, adik Pangeran Sindurata yang lahir dari ibu yang sama, cepat menangkap ketika Galihwarit terhuyung-huyung. Dipapahnya kemanakannya yang sedang terganggu itu dan dibaringkannya di pembaringan.

Tetapi mata Raden Ayu Galihwarit masih saja terpejam meskipun nafasnya mulai mengalir tersengal-sengal.

“Kenapa kau cegah aku adimas?” geram Pangeran Sindurata.

“Kangmaspun ternyata telah diguncang oleh kejutan perasaan. Seperti yang sering terjadi, kangmas tidak dapat mengendalikan perasaan yang sedang melonjak”

“Memalukan sekali. Ia mengigau tentang laki-laki. Dan laki-laki itu adalah orang-orang asing”

“Kangmas” berkata Pangeran Sindumurti, “Bukankah tentang orang asing itu aku sudah beberapa kali menyebutnya di hadapan kangmas. Tetapi kangmas sendiri berhubungan terlalu rapat dengan mereka. Demikian juga agaknya Galihwarit”

“Tetapi aku tidak mengajarinya berbuat demikian?”

“Tetapi kangmas telah membiarkannya bermain-main dengan air. Pada suatu saat Galihwarit telah menjadi basah karenanya. Kesalahan ini jangan seluruhnya dibebankan kepada Galihwarit. Tetapi sebagian pada kangmas sendiri dan sebagian pada suaminya, Pangeran Ranakusuma”

Pangeran Sindurata menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia sempat memandang ke lubang pintu yang terbuka, dilihatnya beberapa orang masih menunggu meskipun pada jarak yang agak jauh dengan wajah yang termangu-mangu.

“Kau dengar pembicaraan kami” tiba-tiba saja Pangeran Sindurata bertanya.

“Aku yang ada di luar pintu mendengarnya dan mengetahui dengan pasti apa yang kangmas lakukan. Tetapi para pelayan sudah aku suruh menjauh, agar mereka tidak mendengar lebih banyak lagi persoalan Galihwarit”

Pangeran Sindurata termenung sejenak. Namun kemudian terasa dadanya bagaikan dicengkam oleh perasaan yang bercampur baur di dalam dadanya. Kecewa, cemas, malu dan juga ketakutan.

Perlahan-lahan ia melangkah ke sudut ruangan dan terduduk dengan lemahnya.

“Kangmas” berkata Pangeran Sindumurti, “Baiklah kita berusaha. Mungkin ada tabib yang pandai yang dapat menyembuhkannya. Sementara ini sebaiknya kangmas juga beristirahat menenangkan hati”

“O” keluh Pangeran Sindurata, “sementara ini Galihwarit masih akan tetap mengigau. Ia masih dapat berteriak-teriak tentang sesuatu yang dapat menambah noda di dalam hidupku yang tidak begitu cerah ini”

“Biarlah ia tetap tinggal di dalam biliknya. Aku akan membantu kangmas menjaganya agar ia tidak pergi keluar seorang diri dan tidak membiarkan ia berbicara”

“Kau akan tinggal di sini siang dan malam?”

“Tentu bukan aku seorang diri. Kita bergantian. Dan sekali waktu isteriku dapat juga membantu dan beberapa orang pelayan yang dapat dipercaya”

Pangeran Sindurata tidak dapat menolak pendapat adiknya. Memang ia tidak mendapat jalan lain daripada itu. Apalagi pikirannya yang sedang kacau itu sama sekali tidak dapat dipergunakannya dengan sebaik-baiknya.

Namun demikian, untuk menyimpan Raden Ayu Galihwarit itu Pangeran Sindurata telah menyediakan sebuah bilik yang khusus. Bilik yang jarang dipergunakannya dan terletak di bagian belakang istananya meskipun masih berada di lingkungan dalam.

Bilik itu kemudian seakan-akan menjadi sebuah bilik yang menyerupai sebuah tempat untuk menyembunyikan Raden Ayu Galihwarit. Pangeran Sindumurti yang memiliki pandangan yang lebih jauh dari kakaknya, masih sempat melayani Raden Ayu Galihwarit seperti melayani seorang anak yang cengeng dan nakal.

“Ia memerlukan sikap yang khusus kangmas” berkata Pangeran Sindumurti, “Kita tidak dapat berbuat kasar. Kita harus berusaha mengalihkan perhatiannya dari orang-orang yang selalu disebut namanya. Biarlah perhatiannya tertuju pada Barang-barang yang disukainya. Makanan atau pakaian”

“O” desis Pangeran Sindurata, “Aku harus menyimpan seorang yang gila di dalam rumah ini”

“Tetapi itu adalah darah daging kangmas sendiri” Pangeran Sindurata hanya dapat menundukkan kepalanya dalam-dalam. Bencana yang dahsyat ternyata telah menimpa keluarganya. Anaknya menjadi gila, dan cucunya mati tertembak oleh orang-orang asing yang selama ini dianggapnya sebagai bangsa yang akan dapat membawa kebahagiaan di dalam hidupnya, yang dengan ringan tangan memberikan banyak sekali hadiah yang berharga baginya.

Tetapi Pangeran Sindurata tidak menerima peristiwa itu tanpa berbuat apa-apa. Ketika ia kemudian sempat berbicara dengan adiknya, Pangeran Sindumurti, mereka pun mendapat kesimpulan bahwa peristiwa ini tentu mempunyai alasan yang tidak dimengertinya. Dan alasan itulah yang harus mereka ketemukan.

“Untuk sementara aku tidak akan dapat menemui Pangeran Ranakusuma” desis Pangeran Sindurata, “Aku menjadi sangat malu. Ia tentu sudah mengetahui dan mendengar igauan Galihwarit pula sehingga dibawanya Galihwarit kembali ke rumah ini, meskipun ia tidak mengatakannya”

“Ya kangmas. Tetapi biarlah kita melihat perkembangan keadaan dengan hati yang dingin. Jika kita dibakar oleh perasaan, maka kita akan mudah berbuat salah”

Pangeran Sindurata mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia tidak berhasil segera menyingkirkan pergolakan yang terjadi di dalam dadanya. Dan karena itulah, maka ia pun telah dicengkam oleh keprihatinan yang dalam.

Dalam pada itu selagi malam menjadi semakin dalam beberapa orang berkuda telah memasuki kota Surakarta. Beberapa orang prajurit peronda yang sedang nganglang terkejut mendengar derap itu. Apalagi pada suasana yang sedang buram karena kematian Raden Rudira, maka prajurit itu pun kemudian berusaha menghentikan orang berkuda yang berpacu di jalan raya itu, apalagi di malam hari.

Ketika orang-orang berkuda itu sudah berhenti, maka pemimpin peronda yang bersenjata tombak itu pun segera mendekatinya. Tombaknya masih merunduk di bawah dadanya. Namun di dalam keadaan yang gawat itu, ia selalu berhati-hati menghadapi setiap kemungkinan.

Orang-orang berkuda itu masih tetap berada di punggung kuda ketika prajurit itu bertanya, “Siapakah kalian?”

Orang yang berkuda di paling depan itu pun menjawab, “Kami adalah keluarga istana Ranakusuma”

“He?”

“Aku sendiri adalah abdi Ranakusuman”

“Yang lain”

“Raden Juwiring. Putera tertua dari Pangeran Ranakusuma. Aku baru saja memberitahukan kepadanya bahwa Raden Rudira telah meninggal”

“O” prajurit itu pun kemudian menganggukkan kepalanya dalam-dalam diikuti oleh para peronda yang lain. Katanya, “Maaf Raden. Raden sudah terlalu lama tidak tinggal di dalam kota, sehingga kami tidak segera dapat mengenal”

Raden Juwiring tersenyum. Katanya, “Aku memang tidak banyak dikenal”

Para peronda itu tidak menjawab. Mereka menganggap bahwa ucapan Raden Juwiring itu merupakan suatu sindiran bagi mereka. Tetapi sebenarnya Juwiring sama sekali tidak hendak berbuat demikian. Sesuatu di dalam hatinyalah yang telah mendesak kata-kata itu meloncat dari mulutnya.

“Jika demikian” berkata para peronda itu, “Silahkan Raden melanjutkan perjalanan”

Demikianlah maka iring-iringan itu pun bergerak pula dan sejenak kemudian kuda-kuda itu pun telah berlari di jalan raya yang sepi. Lampu minyak yang terpancang di sebelah-menyebelah jalan memberikan sedikit pertolongan di dalam gelapnya malam sehingga mereka tidak mendapatkan kesulitan menelusuri jalan kota.

“Kakang Juwiring sangat dihormati di sini” bisik Arum kepada Buntal.

Namun ternyata bahwa Juwiring pun mendengarnya juga sehingga sebelum Buntal menyahut, Juwiring telah mendahului-nya, “Hanya kebetulan. Mereka sebenarnya tidak menghormati aku, tetapi mereka menghormati derajat ayahanda Pangeran. Jika aku bukan putera ayahanda Pangeran Ranakusuma, maka kedudukanku akan lain. Berbeda dengan seseorang yang dihormati karena pribadinya sendiri”

Arum menjulurkan lidahnya sambil berdesis, “Ternyata Raden Juwiring mendengarnya”

“Ah kau” sahut Buntal, “Kau tidak sedang berbisik. Tetapi kau berteriak”

“Tetapi bukankah sebenarnya begitu?”

Buntal tidak menjawab lagi.

Namun dalam pada itu, utusan dari Ranakusuman yang berada di antara mereka berpaling juga memandang Juwiring sejenak. Dan anak muda itu berkata lebih lanjut, “Ada orang yang dihormati memang karena ia pantas dihormati. Ia telah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang dan apalagi bagi Surakarta. Tetapi aku belum pernah berbuat apa-apa”

Tidak ada yang menyahut. Namun agaknya Juwiring tidak sedang bergurau. Tetapi ia bersungguh-sungguh.

Sejenak kemudian mereka telah berada di tengah-tengah kota Surakarta. Sebentar lagi mereka sudah berada di jalan lurus yang menuju ke istana Ranakusuman.

Derap kaki-kaki kuda itu telah mengejutkan beberapa orang penjaga di regol Ranakusuman. Ketika mereka menjenguk lewat sebuah lubang di pintu regol, mereka melihat dua orang yang berdiri di muka pintu itu.

“Siapa?”

“Aku, bersama Raden Juwiring”

“O, Raden Juwiring” desis seseorang yang kemudian dengan tergopoh-gopoh membuka pintu regol.

Ketika pintu itu terbuka, maka Juwiring pun segera bertanya

“Apakah paman Dipanala ada?”

“Ada Raden. Ada. Silahkan masuk”

“Aku tidak datang sendiri. Aku datang bersama kemanakan Ki Dipanala. Panggillah”

Seorang penjaga dengan tergesa-gesa pergi ke ruang dalam yang masih terang benderang. Didapatinya Ki Dipanala duduk bersila di ruang dalam. Agaknya ia selalu siap menunggu setiap perintah. di sampingnya duduk seorang pelayan yang lain.

“Ki Dipanala” penjaga regol itu berdesis, “Raden Juwiring telah datang. Ia menunggumu di regol”

“Kenapa tidak segera saja masuk?”

“Ia tidak datang seorang diri. Ia datang bersama kemanakan Ki Dipanala”

“Kemanakanku?”

“Ya”

Ki Dipanala berpikir sejenak. Dan tiba-tiba saja ia teringat kepada dua orang saudara seperguruan Juwiring. Karena itu, maka ia pun segera berdiri dan turun ke halaman menyongsong anak-anak yang datang dari Jati Aking.

Dugaannya memang tepat. Yang datang adalah Raden Juwiring. Sedang di sebelah regol menunggu Buntal dan Arum.

“Marilah Raden” berkata Ki Dipanala, “Ayahanda sudah menunggu” Lalu katanya kepada Buntal dan Arum, “Marilah ngger. Silahkan masuk”

Juwiring segera mendekati Ki Dipanala sambil berbisik, “Biarlah mereka berada di rumah paman lebih dahulu karena menurut ayah, maksudku guru di Jati Aking, biarlah ia tidak mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan pergaulan di rumah ini”

“O, tentu tidak. Silahkan, tidak ada keberatan apa-apa seandainya langsung dipersilahkan masuk. Masih ada tempat yang barangkali sesuai untuk mereka di dalam istana ini”

“Tetapi tentu ada banyak orang di dalam. Tentu beberapa orang bangsawan dan keluarga ayahanda terdekat yang berjaga-jaga” lalu tiba-tiba suaranya merendah, “Bukankah benar adimas Raden Rudira meninggal?”

“Ya Raden. Hampir di luar dugaan sama sekali”

Raden Juwiring mengangguk-angguk, lalu diulanginya, “Biarlah mereka tinggal di rumah paman untuk malam ini. Besok biarlah mereka aku perkenalkan kepada ayahanda Pangeran”

“Jika demikian, baiklah Raden. Biarlah aku bawa mereka ke rumah. Sementara itu silahkan Raden masuk”

Ketika Juwiring memasuki halaman rumahnya, maka Buntal dan Arum telah dibawa oleh Ki Dipanala ke rumahnya melalui jalan sempit di luar dinding halaman istana.

Setelah menempatkan kedua anak-anak muda itu dan menyerahkannya kepada keluarganya, maka Ki Dipanala pun segera kembali ke istana Ranakusuman.

Ternyata kedatangan Juwiring di istana Ranakusuman itu telah menarik perhatian setiap orang yang ada di dalam istana itu. Semuanya memandangnya dengan tanggapan masing-masing. Beberapa orang bangsawan yang dekat dengan Raden Ayu Galihwarit menganggap kedatangan Juwiring itu sebagai suatu usaha untuk mempergunakan kesempatan, justru karena Rudira baru saja hilang dari istana itu.

“Sst” desis seorang perempuan bangsawan, “Cepat benar Juwiring mengetahui bahwa adiknya telah meninggal”

“Tentu Pangeran Ranakusuma telah mengirimkan utusan untuk memberitahukannya”

“Anak itu tentu bersorak di dalam hati. Kematian Rudira memberikan peluang baginya untuk menguasai seluruh kesempatan yang pernah dimiliki oleh Rudira”

“Masih ada adik perempuannya”

“Apakah daya seorang perempuan”

“Ia akan bersuami”

Kawannya berbicara tidak menyahut. Mereka hanya sekedar memandang saja ketika Juwiring lewat terbungkuk-bungkuk di hadapan mereka langsung masuk ke ruang dalam.

“Dimana ayahanda?” bertanya Juwiring kepada Ki Dipanala yang telah berada di istana itu pula.

“Di dalam. Ayahanda Raden ternyata terlampau letih. Lahir dan batin. Agaknya ayahanda Raden telah tertidur meskipun sambil duduk di dalam bilik”

Juwiring menjadi ragu-ragu sejenak. Meskipun ia adalah putera yang sulung, tetapi rasa-rasanya ada jarak yang selama ini membatasi antara dirinya dengan ayahandanya.

“Silahkan Raden” berkata Ki Dipanala.

“Di mana ibunda?”

“Masih di istana ayahandanya. Pangeran Sindurata”

“Apakah ibunda Galihwarit tidak menunggui keberangkatan jenazah adinda Rudira?”

“Tidak Raden”

Juwiring mengangguk-angguk. Agaknya tanpa Raden Ayu Galihwarit, rasa-rasanya Juwiring tidak begitu segan memasuki bilik ayahandanya yang sedang tertidur sambil duduk oleh kelelahan yang mencengkam. Lahir dan batin.

Perlahan-lahan Raden Juwiring memasuki pintu bilik. Ia sama sekali tidak menghiraukan lagi beberapa orang memandanginya dengan bayangan perasaan yang berbeda-beda di wajah mereka.

“Setelah tidak ada Rudira, anak itu merasa dirinya dapat berbuat apa saja di sini” desis seorang bangsawan tua.

Tidak ada yang menyahut. Mereka melihat Raden Juwiring itu hilang di balik pintu.

Ternyata langkah Raden Juwiring telah mengejutkan ayahandanya yang sebenarnya tidak tidur nyenyak. Rasa-rasanya hanya bagaikan terlena beberapa saat.

Sejenak Pangeran Ranakusuma memperhatikan seorang anak muda yang berdiri di hadapannya dengan kedua tangan ngapurancang. Kepalanya tertunduk dan pandangannya jatuh hampir di atas kakinya sendiri.

“Juwiring” desis Pangeran Ranakusuma.

“Ya ayahanda. Aku telah datang karena ayahanda berkenan memanggil”

Pangeran Ranakusuma berdiri sambil menarik nafas dalam-dalam. Didekatinya anak laki-lakinya itu. Kemudian sambil menepuk bahunya ia berkata, “Adikmu telah tidak ada lagi”

“Ya ayahanda, seperti yang tersebut di dalam surat ayahanda.

“Ya, akulah yang membuat surat itu. Aku cemas bahwa kau sudah tidak mempunyai kepercayaan lagi kepada ayahmu, sehingga kau tidak mau datang meskipun aku telah memanggil-mu”

“Aku tentu akan menjalankan segala perintah ayahanda”

“Bagus Juwiring. Ternyata kau anak yang baik. Selama ini aku mencoba mengenalmu. Tetapi baru malam ini aku berhasil, justru setelah adikmu tidak ada”

Namun keduanya terkejut ketika tiba-tiba mereka mendengar suara dari sela-sela pintu yang kemudian terbuka, “Ayahanda terpengaruh oleh hilangnya kakangmas Rudira. Ayahanda merasa kesepian, dan anak itu ayahanda anggap dapat menggantikan kedudukan kangmas Rudira. Tidak. Anak itu tidak kita perlukan di istana ini”

“Warih” desis Pangeran Ranakusuma, “ini juga kakakmu, Warih”

Rara Warih memandang Juwiring sejenak. Namun kemudian sambil memalingkan wajahnya ia berkata, “Ia tidak pantas berada di istana ini”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan didekatinya anak gadisnya sambil bertanya, “Warih. Sudahlah. Marilah kita lupakan pertikaian di antara keluarga kita. Sebaiknya kita mencoba menempatkan diri kita masing-masing di dalam hidup kekeluargaan yang rukun”

“Ayahanda” berkata Rara Warih, “Bukankah ayahanda sudah mengusirnya dan menempatkannya di padukuhan yang jauh? kenapa sekarang ia berada kembali di istana ini, tepat pada saat meninggalnya kangmas Rudira?”

“Aku memanggilnya”

“Kenapa ayah memanggilnya? Tentu karena ayah sedang merasa kehilangan. Ayah menganggap bahwa orang itu dapat menggantikan kangmas Rudira yang hilang”

“Bukan begitu Warih. Ia memang keluarga kita sendiri”

“Tetapi ia tidak sederajad dengan aku dan kangmas Rudira, “

Terasa sesuatu berdesir di dada Juwiring. Untunglah bahwa. ia tidak datang langsung bersama Buntal dan Arum. Jika keduanya ada di ruang itu juga, maka ia akan menderita malu karenanya di hadapan saudara-saudara seperguruannya itu, yang selama ini kurang mengerti persoalan yang ada di antara keluarganya.

“Warih” berkata Pangeran Ranakusuma, “Kau harus belajar melihat kenyataan. Bagaimanapun juga Juwiring adalah anakku. Dan kau juga anakku”

“Tetapi ibunya tidak sederajad dengan ibuku”

Dalam pada itu rasa-rasanya dada Juwiring menjadi semakin panas sehingga sebelum Pangeran Ranakusuma menjawab, Juwiring telah mendahului menyahut, “Ayahanda. Baiklah. Jika kedatanganku memang tidak dapat diterima oleh keluarga ini, maka sebaiknya aku pergi. Aku sudah datang memenuhi surat ayahanda meskipun aku terlambat, karena aku tidak dapat menyaksikan keberangkatan jenazah adimas Rudira”

“Dan itu memang tidak perlu bagimu” sahut Rara Warih. Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia ingin mengendapkan gejolak yang membakar dadanya.

“Tidak Juwiring” berkata ayahandanya, “Kau tetap di sini. Sebagian kata Warih memang benar. Aku kesepian. Kau adakah anakku laki-laki seperti Rudira. Dan kau pun berhak berada di rumah ini, karena rumah ini memang rumah kita. Rumah keluarga kita”

“Tentu tidak” potong Warih, “Jika ibunda datang ke istana ini, maka ibunda tentu akan mengambil sikap yang lebih tegas dari sikapku”

“Ibumu tidak akan datang lagi ke rumah ini Warih” jawab Pangeran Ranakusuma.

“Kenapa?” Rara Warih menjadi tegang.

Pertanyaan Rara Warih itu ternyata telah mengejutkan Pangeran Ranakusuma yang di luar sadarnya telah menyebut sesuatu tentang isterinya di hadapan Rara Warih. Karena itu, untuk beberapa saat ia termangu-mangu. Ia tidak segera menemukan jawaban atas pertanyaan puterinya itu.

“Ayahanda?” desak Rara Warih, “Kenapa ibunda tidak akan kembali lagi ke istana ini?”

“Bukan maksudku berkata begitu Warih” jawab Pangeran Ranakusuma kemudian, “Aku hanya ingin mengatakan bahwa ibundamu mungkin memerlukan waktu yang lama untuk menenangkan goncangan perasaannya itu”

“Dan hati ibunda akan terguncang lagi apabila ia melihat orang itu berada di dalam istana ini”

“Mungkin akan terjadi sebaliknya” jawab Pangeran Ranakusuma, “mungkin Juwiring dapat menawarkan hatinya. Anak itu telah diasuhnya pula selagi masih bayi, sebelum kakakmu lahir, meskipun jaraknya tidak begitu jauh. Baru sejak Rudira lahir ibumu tidak sempat lagi menyentuh Juwiring karena ia sibuk dengan anaknya sendiri”

“Tetapi ketika orang itu menjelang dewasa, maka ia sudah banyak sekali menyakiti hati ibunda sehingga ia harus pergi dari istana ini. Pada saat itu ayahanda merestui keputusan itu juga”

“Ya karena di antara keduanya, maksudku Rudira dan Juwiring agaknya kurang dapat hidup rukun meskipun mereka seayah. Karena itulah maka salah seorang dari keduanya harus menyingkir. Tetapi sekarang Rudira sudah tidak ada lagi”

“Tetapi aku masih ada. Jika aku tidak dapat hidup rukun dengan orang itu, siapakah yang akan ayahanda singkirkan?”

Pangeran Ranakusuma menjadi termangu-mangu. Ia merasa benar-benar mendapat cobaan perasaan yang maha berat. Karena itu untuk beberapa saat ia tidak menyahut pertanyaan Warih itu.

“Ayahanda” terdengar Juwiring berkata, “Apa salahnya jika aku kembali ke Jati Aking. Aku dapat hidup tenang sebagai seorang petani tanpa memalingkan diri dari sikap seorang anak terhadap ayahandanya jika memang ayahanda memberikan perintah apapun. Aku tetap seorang anak yang harus patuh kepada orang tuanya. Jika aku tinggal di padepokan Jati Aking, itu adalah karena aku sedang menuntut ilmu. Ilmu kesusas-teraan, ilmu pemerintahan dan ilmu kajiwan yang lain”

“O” kata-kata Juwiring itu justru membuat bati Pangeran Ranakusuma menjadi pedih. Dengan suara yang berat ia menjawab, “Kau tetap di sini Juwiring” Lalu katanya kepada Rara Warih, “Kau juga tetap di sini Warih. Cobalah saling mengenal dan cobalah saling mendekatkan diri. Kalian adalah anak-anakku”

“Ayahanda” berkata Rara Warih, “Jika orang itu tetap berada di istana ini, akulah yang akan pergi ke istana eyang Pangeran Sindurata”

“Tidak” tiba-tiba Juwiring langsung menjawab, “Aku akan kembali ke Jati Aking seperti pesan Kiai Danatirta”

Pangeran Ranakusuma menahan dadanya dengan telapak tangannya, seakan-akan ia ingin menahan dadanya yang akan retak. Dengan suara yang dalam ia berkata, “Baiklah jangan kita perbincangkan sekarang, di luar masih banyak orang-orang yang berjaga-jaga sepeninggal Rudira. Disini kita sudah mulai bertengkar di antara keluarga sendiri”

“Tidak. Ayah harus memberikan ketegasan sekarang. Orang itu, atau akulah yang harus pergi dari rumah ini”

“Aku akan meninggalkan istana ini” jawab Juwiring.

“Ya, ya” sahut Pangeran Ranakusuma, “terserah saja kepada keputusan kalian. Tetapi diamlah. Sekarang bukan waktunya untuk berbicara tentang hal itu. Sebaiknya kalian menemui saudara-saudara kalian yang ada di rumah ini malam ini. Kawanilah mereka berjaga-jaga dan layanilah jika mereka memerlukan sesuatu. Bukan justru kalian bertengkar sendiri. Jika ada orang lain yang mendengar, maka kesan atas kita akan jelek sekali”

Rara Warih memandang Juwiring dengan sorot mata yang memancarkan kebencian yang mendalam. Sejenak ia masih berdiri di muka pintu. Namun ia pun kemudian melangkah keluar dan pergi ke bilik sebelah. Ketika dijumpainya di dalam bilik itu bibinya, adik Raden Ayu Galihwarit, sedang beristirahat oleh kelelahan, tiba-tiba saja Rara Warih berlari dan memeluknya sambil menangis.

“Warih” bibinya itu pun segera bangkit.

“Bibi” terdengar suaranya di antara isaknya.

“Kenapa kau menangis lagi? Sudahlah. Seharusnya kau mencoba menenangkan hatimu. Jika ibumu mengetahui bahwa kau masih saja menangis, maka ia tidak akan segera dapat menjadi tenang. Bukankah kau sayang kepada ibunda?”

Rara Warih mengangguk.

“Malam ini, di rumah eyang Pangeran Sindurata pun tentu banyak orang yang menunggui ibundamu. Mudah-mudahan ibundamu sudah sadar, dan mampu mengendapkan perasaannya”

Sekali lagi Rara Warih menganggukkan kepalanya.

“Karena itu, sudahlah”

“Bibi” berkata Rara Warih kemudian, “Aku sudah mencoba untuk menerima keadaan ini dengan hati yang lapang. Tetapi tiba-tiba saja orang itu datang ke dalam istana ini. Apakah aku harus berdiam diri dan membiarkannya berada di sini?”

“Siapa Warih?”

“Juwiring”

Bibinya menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Biarlah ayahandamu menyelesaikannya”

“Ayahandalah yang justru memanggilnya. Selagi ayah merasa kehilangan, maka orang itu dianggapnya dapat menjadi pengganti kakanda Rudira. Tetapi orang itu sama sekali tidak sederajad dengan kakanda Rudira”

“Seharusnya ia tidak kembali ke istana ini”

“Bukankah kehadirannya itu sangat menyakitkan hatiku. Hatiku yang luka karena kehilangan kangmas Rudira, dan kini ditambah lagi dengan kehadiran orang yang hanya akan mengotori istana ini”

“Tetapi barangkali ia sekedar menampakkan diri pada saat jenazah adiknya dimakamkan”

“Tidak. Ayahanda menghendakinya agar ia tetap tinggal disini”

Bibinya mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Baiklah. Jika ibundamu telah sehat sama sekali dan kembali ke istana ini, maka anak itu pasti akan segera pergi”

“Tetapi menurut ayahanda, ibunda tidak akan kembali lagi, atau Setidak-tidaknya ibunda memerlukan waktu yang lama untuk dapat dengan tatag kembali memasuki rumah ini”

Bibinya mengusap kening Rara Warih sambil berkata, “Sudahlah. Sebaiknya kau tidak mempersoalkannya lagi. Jika kau letih, beristirahatlah. Tidurlah sejenak, biarlah aku menemui sanak keluarga yang duduk di ruang dalam”

“Tidak bibi. Aku tidak letih. Biarlah aku menemui mereka. Dan biarlah bibi beristirahat”

“Aku sudah cukup beristirahat. Marilah, kita bersama-sama menemui mereka”

Demikianlah keduanya keluar dari dalam bilik itu dan pergi ke ruang dalam. Ketika mereka melalui pintu bilik Pangeran Ranakusuma, mereka masih mendengar suaranya meskipun perlahan-lahan sekali.

Dalam pada itu di dalam bilik itu Pangeran Ranakusuma berusaha meyakinkan Juwiring, bahwa hati adiknya itu pasti akan segera lunak kembali. Ia pun akan menjadi kesepian dan memerlukan seseorang di dalam rumah itu selain ayahandanya yang sering pergi untuk melakukan tugasnya sebagai seorang Pangeran dan seorang perwira prajurit Surakarta.

“Ayahanda” berkata Juwiring, “Seperti pesan Kiai Danatirta, biarlah aku kembali ke Jati Aking. Mungkin akan lebih baik bagiku. Apalagi sebenarnyalah kedatanganku tidak seorang diri”

“Dengan siapa kau datang? Dengan Kiai Danatirta?”

“Tidak ayahanda, tetapi dengan Arum, anak gadis Kiai Danatirta, dan Buntal, anak angkatnya”

“Dimana mereka sekarang?”

“Mereka berada di rumah Ki Dipanala. Aku sudah membayangkan bahwa akan terjadi persoalan karena kehadiranku, meskipun tidak setajam yang aku temui”

“Sudahlah. Jangan hiraukan. Biarlah besok kita berbicara lagi. Sekarang, kau dapat menemui keluarga kita di ruang depan”

Tetapi Juwiring menjadi ragu-ragu. Katanya, “Ayahanda, apakah aku masih dapat diterima berada di lingkungan para bangsawan. Ada semacam perasaan rendah diri menghinggapi diriku menghadapi sikap dan tatapan mata mereka”

Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah anak laki-laki itu sejenak. Wajah yang memang mengesankan wajah seorang anak bangsawan. Beberapa orang mengatakan bahwa Juwiring mirip sekali dengan wajahnya sendiri pada saat bayi itu dilahirkan. Kemudian di dalam perkembangannya wajah Juwiring lebih mendekati wajah ibunya.

Sejenak Pangeran Ranakusuma tidak menyahut. Sepercik perasaan bersalah telah melonjak di dalam dadanya. Anak itu seakan-akan sudah diasingkannya, sehingga terpisah dari lingkungan para bangsawan. Juwiring selama ini hidup di padepokan yang terpencil, yang menurut pendengarannya ia telah berusaha menyesuaikan diri hidup di lingkungan para petani dan justru telah terjun ke dalam sawah berlumpur.

Dan kini ia mencoba menariknya dari kehidupan itu dan kembali ke dalam lingkungan para bangsawan.

“Juwiring” berkata Pangeran Ranakusuma, “mungkin kelengkapan lahiriah dapat membuatmu diganggu oleh perasaan rendah diri. Tetapi kau adalah benar-benar anakku”

Raden Juwiring tidak menyahut.

“Memang sepantasnya kau berpakaian seperti seorang bangsawan. Kau dapat memakai pakaianku. Tentu sudah tidak terlampau besar. Bahkan mungkin agak sempit”

“Ayahanda” desis Juwiring, “biarlah aku memakai pakaianku sendiri. Aku sudah biasa memakai pakaian seperti ini”

“Tetapi kau berada di dalam lingkunganmu sendiri sekarang. Kau harus mengenakan pakaian sepantasnya. Bukan karena pakaianmu maka kau diterima di dalam lingkunganmu, namun kesan pertama yang tampak pada seseorang adalah caranya berpakaian. Karena itu jangan menolak. Kau harus hadir di antara mereka dalam pakaian yang pantas bagi seorang putera Pangeran. Jika kau segan memakai pakaianku, pakailah pakaian Rudira, yang barangkali tubuhnya tidak terpaut banyak daripadamu”

“Terima kasih ayahanda. Kesannya akan lebih jelek lagi jika aku memakai pakaian adimas Rudira. Semua orang akan memancangku sebagai seorang anak muda yang tidak tahu diri”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam.

“Ayahanda, mereka yang ada di pendapa sudah melihat aku dalam pakaian ini. Agaknya tidak pantas jika aku kemudian berganti pakaian dengan pakaian yang pantas bagi seorang putera Pangeran”

“Baiklah Juwiring. Tetapi sebaiknya kau memang membersih-kan diri sejenak, lalu berganti pakaian yang manapun yang kau kehendaki setelah perjalananmu, lalu temuilah sanak keluarga terdekat yang ada di ruang dalam dan di pendapa”

Juwiring tidak dapat menolak. Sebenarnyalah bahwa ia memang segan menemui sanak keluarganya yang seakan-akan sudah terpisah dari dunianya. Bukan saja ada semacam perasaan rendah diri, tetapi baginya dunia semacam istana ayahanda ini sama sekali tidak menarik. Hubungan yang kaku di antara mereka karena batasan unggah-ungguh. Sikap yang tidak wajar dan lingkungan dunia yang tidak dilandasi oleh kenyataan hidup yang sebenarnya bagi keseluruhan rakyat Surakarta. Istana ini bagaikan dunia yang terpisah, yang memilih batasan-batasan kehidupan tersendiri.

Bersambung ke bagian 2

5 Tanggapan

  1. Lho….ternyata dah tersaji jilid 11. Alhamdulillah…..
    Matur nuwun atas postingnya.

    Lembur baca ah malam ini

    • Wah….. telat
      lha wong sudah sejak semalam kok
      he he he …., tidak capek Ki Al, wira-wiri PKPM-TADBM-BdBK?

    • Selamat pagi…..
      Waduh…..
      Yang capek tu justru kalau dah wara wiri eh….ndak nemu wedaran.
      Maklum deh hobbynya belakangan ini emang lagi wara wiri, baca sana baca sini dan baca apa saja mumpung ada waktu senggang.
      Nah….jilid 11 dah abis tak lembur semalam….
      Matur nuwun.

  2. Wah, dadi seneng deh, jilid 11 wis terbit (hehehe…), mugo2 terusane ojo seminggu sepisan, saderenge matur nuwun.

  3. Top

Tinggalkan komentar